Rabu, 25 Desember 2013

DIANGKA 18!
HARAPAN YANG MASIH TERUS DIHARAPKAN...

            Senin, 25 Desember 1995, tepat setelah kumandang adzan Maghrib lahirlah seorang putra kedua dari pasangan suami istri, Sadeli dan Salbiah, bernama Arsha Dwi Sulistio dengan berat 3,7 kg dan panjang 55 cm. Anak laki-laki yang ganteng, imut, lucu dan menggemaskan. Bapak gua, si Sadeli keturunan Betawi-Manado, nah Ibu gua tercinta keturunan Jawa telek alias Jawir, dan gua masih ada keturunan Belanda. Gua tumbuh dan berkembang dilingkungan keluarga yang mampu membentuk karakter kepribadian yang agamais dan pancasilais
kakak dan adik gua
Kelahiran gua secara tidak langsung melahirkan pula harapan kedua orang tua gua bahwa gua diharapkan kelak akan jadi seorang yang berarti, bukan cuma buat keluarga, tapi buat semua orang. Nah, cara pertama untuk merealisasikan harapannya, kedua orang tua gua dengan susah payah nyari duit yang banyak supaya gua bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas.
Alhamdulillah, kedua orang tua gua adalah penganut faham ‘Pendidikan itu Penting’, jadi gua bisa menuntaskan wajib belajar 12 tahun. Pertama, tahun 1998 gua masuk ke RAUDHATUL ATFAL AL-MUNIR (setingkat TK) dan lulus di pertengahan 2000. Kedua, pertengahan tahun 2000, gua yang saat itu belom genap 6 tahun udah bisa masuk dan belajar di SDN DURI UTARA 01 Pagi karena udah bisa baca dan nulis, tahun ajaran 2005/2006 gua lulus SD dengan predikat lulusan terbaik. Ketiga, gua lanjut ke SMPN 89 SSN ditahun ajaran 2006/2007 dan lulus dengan normal ditahun ajaran 2008/2009. Kelima, gua yang udah dikasih kebebasan milih sekolah sendiri akhirnya menjatuhkan pilihan pada SMKN 42 Cengkareng, dengan program studi Broadcasting ditahun ajaran 2009/2010 dan alhamdulillah lulus ditahun ajaran 2011/2012.
“Salah satu cara untuk menaikan taraf hidup adalah dengan Pendidikan” begitu kata pak Hombing dalam pidatonya yang gua denger setiap hari senen pas upacara dan setiap dia masuk kelas gua. Setelah sekolah melulu selama 14 tahun, lalu apakah gua udah berhasil jadi seperti apa yang diharapkan ibu bapak? Belom! Trus kapan? Kapan?!

“Tak ada yang kekal dalam hempasan waktu. Dalam putarannya, terang akan jadi gelap, keriuhan akan jadi sunyi, dan siang akan jadi malam. Begitu juga yang muda, akan segera menjadi tua, ringkih, kehilangan tenaga” itulah kutipan dari prolog opera tari “Akan Jadi Malam” karya Jefri Andi Usman yang kayaknya pas banget buat gua yang tanggal 25 Desember 2013 ini genap berusia 18 tahun.
Diangka 18, yang kalo hidup ini dianalogikan sebagai waktu dalam satu hari, maka 18 tahun adalah pagi hari, yang artinya adalah waktunya untuk beraktivitas, waktunya untuk giat mengejar cita-cita sebelum petang datang dan kemudian beristirahat sampai malam hari tiba yaitu kematian. Diangka 18, ini waktunya untuk berlari, momentum untuk memulai segala pencarian yang butuhkan untuk mewujudkan harapan. Diangka 18, ini waktunya untuk berproses agar mendapat hasil sesuai harapan untuk mewujudkan harapan.

Diangka 18, waktunya untuk segera mewujudkannya, sebelum terang menjadi gelap, sebelum keriuhan menjadi sunyi, dan sebelum siang menjadi malam, semoga.

Selasa, 29 Oktober 2013

DARI FESTIVAL TEATER PELAJAR, KINI MENATAP BABAK FINAL FESTIVAL TEATER JAKARTA. DARI TEATER BIRU 42 SAMPAI STUDY TEATER 24



            13 Juli 2009, itu tanggal yang akan selalu gua ingat, itulah saat pertama gua resmi menjadi seorang pelajar SMK. SMKN 42 cengkareng menjadi pilihan gua untuk menimba ilmu selama 3 tahun, ya walaupun lebih banyak maennya daripada belajar, tapi gua seneng bisa sekolah disitu. Oia, di SMKN 42 gua ambil jurusan Broadcasting dari 4 jurusan yang ada, Adm. Perkantoran, Akutansi, Pemasaran dan Broadcasting. Passion gua lebih ke broadcast dan itu alesan gua ngomong ama bokap supaya masukin gua ke jurusan broadcasting.
Teater Biru 42, Kawah Ratu, 2011

            Di SMKN 42 ada sebuah Eskul Teater, TEATER BIRU 42 namanya, waktu itu ada guru yang ngajar pelajaran Produktif Broadcasting, namanya Siti Nuribo yang ngewajibin semua anak jurusan Broadcast buat ikut teater dengan alasan biar jadi murid broadcast yang cerdas. Kebijakan bu ibo, begitu biasa doi disapa, dapet respon yang beragam dari murid-murid broadcasting, lebih banyak yang negatif malah, hehe. Singkat waktu, mulailah gua rutin latihan teater setiap hari sabtu. Bulan pertama asem banget, nah masuk bulan kedua, ka Unggul ketua teater waktu itu mulai ngajak anak baru ke Gelanggang Remaja Jakarta barat, tempat dimana induk organisasi teater di seluruh Jakarta Barat, yaitu Indraja, Ikatan Drama Jakarta Barat.

Rizal Nasti
            Setelah kenal GRJB dan Indraja, mulailah masuk ke latihan yang lebih berat, latihan buat FESTIVAL TEATER PELAJAR ke-8 tahun 2009. Nah, inilah saat pertama gua ketemu sama bapak-bapak yang udah hampir jadi kakek-kakek, namanya Rizal Nasti, doi orangnya okem abis, tapi ternyata dia sutradara yang ngegarap hampir semua pementasan Teater Biru 42. Inilah festival teater pertama gue, waktu itu, Teater Biru bawain lakon “Sidang Para Setan” karya Joko Umbaran.”Beli rokok kali..”, “Abis setannya maen-maen sih” itulah dua dialog bersejarah dalam perjalan karir gua jadi pemain teater, alhamdulillahnya Biru 42 dapet Sutradara Terbaik dan Grup Terbaik I. Dengan dapet Grup Terbaik di FTP, Teater Biru 42 dapet tiket otomatis ke babak penyisihan FESTIVAL TEATER JAKARTA ke-38 tahun 2010. Di FTJ 38, seorang Arsha Dwi Sulistio dipercaya ama Bang Rizal buat jadi Pemeran Utama, juga di naskah “Sidang Para Setan” gantiin kakak kelas sebelumnya yang gabisa ikutan FTJ 38. Sayangnya, Teater Biru 42 ‘GATOT’ alias gagal total. Gua sebagai pemeran utama merasa paling bersalah, huft banget .
Poster "Sidang Para Setan", FTP 8 2009

            Tahun 2010, Indraja ngadain lagi FESTIVAL TEATER PELAJAR ke-9, gua lebih pede kali ini buat ikut FTP dengan berbekal pengalaman dua kali mentas. Kali ini Biru 42 maenin naskah “HASUKE (Hanya Sunyi Kesunyian)” karya Pedje, dan gua balik lagi jadi cameo atau figuran doang -_-, tapi gapapa soalnya Biru 42 berhasil dapet, Penata Lampu Terbaik, Penata Panggung Terbaik, Sutradara Terbaik, Grup Terbaik I, dan Jadi Juara Umum FTP ke-9. Di FTJ ke-39 tahun 2011 masih dengan naskah “HASUKE” dan masih dengan gua yang jadi figuran Teater Biru 42 dapet Grup Terbaik Harapan I, alhamdulillah .

Teater Biru 42, 2011
            Tahun 2011 jadi tahun yang paling indah dan paling gimana gitu buat gua. Di tahun 2011 ini, gua dapet pacar pertama di masa SMK dan dapet penghargaan Aktor Pembantu Terbaik di FESTIVAL TEATER PELAJAR ke-10. Ini gelar individu pertama gue, waktu itu Biru 42 bawain naskah “Jaka Tarub atawa Kasih Yang Sampai” karya Tri Adi Sarwoko. Gua yang berperan sebagai ‘Dalang’ berhasil ngalahin lawan-lawan gue. Di FTP ke-10 juga Biru 42 dapet buaaaanyaaak piala, diantaranya, Penata Lampu Terbaik, Penata Panggung Favorit, Penata Kostum Dipujikan, Penata Rias Favorit, Aktris Utama Favorit, Aktor Utama Terbaik, Sutradara Terbaik, Grup Terbaik 1 dan keluar sebagai Juara Umum FTP ke-10. Nah, di FTJ ke-40 tahun 2012 Biru 42 dengan bangga bawain naskah “BLONG” karya Putu Wijaya. Gua yang berperan lagi-lagi jadi ‘Dalang’ hampir dapet gelar individu pertama gua di FTJ yang notabene lebih prestisius dari FTP, tapi sayangnya, karna kecerobohan gua, suara gua ilang pas Glady Resik, dan berimbas pada performa gua di waktu pementasan. Gua akhirnya cuma masuk nominasi sebagai Aktor Utama Terbaik, dan dapet gedek ama gondok yang kaga kelar-kelar. Di Juni 2012, gua akhirnya menyelesaikan kewajiban belajar 12 tahun dengan lulus dari SMKN 42 dengan nilai UN yang bagus tanpa liat bocoran, maklum, selain ganteng gua juga pinter bray, wkwk :D. Di Oktober tahun 2012, Indraja ngadain FTP ke-11. Gua pengen banget ikutan tapi agak susah karna status gua yang udah bukan pelajar setingkat SMA lagi, waktu itu gua udah jadi Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana. Tapi dengan sedikit rayuan maut dan sebungkus Dji Sam Soe, bang Rizal ngizinin gua buat ikutan. Waktu itu Biru 42 bawain lakon “Orang-Orang Bingung” karya Joko Kurnain. Dengan sedikit bingung alhamdulillah Biru 42 dapet, Penata Lampu Terbaik, Penata Panggung Dipujikan, Poster Favorit, Aktor Pembantu Dipujikan, Sutradara Dipujikan, dan Grup Terbaik III. Dan penghargaan sebagai Aktor Pembantu Dipujikan berhasil gua dapet dan gua persembahkan buat Teater Biru 42.

Study Teater 24, Kapai-Kapai
            FTP ke-11 jadi Festival Teater terakhir gua barengan Biru 42, tapi gua akan terus jadi orang yang bertanggung jawab secara moril seperti apa yang diperintahin bang Rizal. Ga kerasa FTJ ke-41 udah deket, STUDY TEATER 24, yang juga cikal bakal dari Teater Biru 42 jadi pilihan gua buat belajar dan ikut festival. Proses masuk ke Study Teater 24 ga se-kompleks dan ga seindah waktu gua pertama masuk Biru 42, ya mungkin karna udah kenal. Study Teater 24 juga disutradarain ama Bang Rizal, jadi ga terlalu susah buat gua beradaptasi. Emang terasa banget bedanya latihan di Biru 42 ama di Study 24, tapi emang waktu dan realitas yang nuntut gua untuk move on dari Biru 42, tapi yang namanya belajar teater dari guru yang sama, rasanya juga sama. Naskah pertama gua untuk debut gua di Study 24 yang dipilih bang Rizal bukan naskah sembarangan, buat di FTJ ke- 41 ini Study 24 bawain naskah masterpiece karya Arifin C. Noer, “Kapai-Kapai”. Setelah lewatin proses latihan yang panjang dan melelahkan, Study Teater 24 yang emang udah punya tradisi lolos ke final berhasil dapet penghargaan Aktor Pembantu Terbaik, Sutradara Terbaik, dan Grup Terbaik II. Dan gua, akhirnya setelah 4 tahun berteater, pecah telor juga, gua berhasil dapet penghargaan individu sebagai Aktor Pembantu Terbaik FTJ ke-41 tingkat Jakarta Barat dengan berperan sebagai ‘Bel’. Campur aduk rasanya, norak emang, tapi bodo amat emang gua pikirin, namanya juga baru pertama kali menang di FTJ haha. Dan sekarang, gua yang masih terus belajar ini sedang berproses latihan untuk Babak Final FTJ ke-41. Ini adalah Final pertama gua, ini adalah momentum buat gua untuk terus belajar dan belajar. Besar harapan gua bisa ngasih yang terbaik buat Study 24, Bang Rizal, Bokap Nyokap, dan Adek-adek di Teater Biru 42.




Arsha Dwi Sulistio

021- 945 06 426

Senin, 25 Maret 2013

Teater Quantum 84 (SMAN 84 Jakarta)


TEATER QUANTUM (SMAN 84)


                “Si Cacat yang Utuh” begitulah Muhammad Dzakwanur Halim atau yang biasa disapa Awan menggambarkan Teater Quantum 84. Teater sekolah yang berdiri pada tanggal 09 September 2000 adalah salah satu ekstrakulikuler yang ada di SMAN 84 Jakarta. Anto Ristargie, Fifi Herawati, S.Pd, Lida Nalida, S.Pd, dan Andi Maryam, S.Pd adalah 4 nama pendiri Teater Quantum. Pro dan kontra di sekolah mewarnai awal perjalanan Teater Quantum 84, tapi Teater Quantum berhasil meyakinkan keraguan pihak sekolah dengan prestasi.


               Pada awal berdirinya Teater Quantum sudah berhasil mendapatkan beberapa prestasi, salah satunya adalah ketika menjuarai lomba Teater Kontemporer tingkat SLTA yang diadakan oleh dinas kebudayaan DKI Jakarta. Selain berteater, Teater Quantum juga rajin ikut serta dalam berbagai lomba, salah satunya adalah lomba puisi kelompok. Sudah banyak piala yang di ‘gondol’ ke SMAN 84 oleh Teater Quantum.

                Teater yang saat ini beranggotakan 20 orang sedang bersiap menghadapi Festival Teater Pelajar XI yang di selenggarakan oleh Ikatan Drama Jakarta Barat (INDRAJA) oktober mendatang. “Kami cacat tanpa pelatih, tapi kami mencoba tetap utuh dan tetap eksis”, ujar Awan. Belum adanya tenaga ahli yang mau menangani adalah persoalan utama selain tentunya persoalan biaya produksi yang tak sedikit untuk sebuah pementasan. Terhitung sudah 4 orang menangani Teater Quantum tapi keempatnya tak bertahan lama. “kami punya semangat, dengan semangat, kami bisa membuat apapun menjadi mungkin”, Awan menambahkan. Semangat itu pula yang akhirnya membuat Adi ‘Pocong’ Irawan, sutradara Teater USB Trisakti untuk dengan berani menangani Teater Quantum.

                Di Festival Teater Pelajar kali ini Teater Quantum akan membawakan lakon berjudul “Kartini Berdarah”. Ketika ditanyai mengenai target, Awan mengatakan bahwa di FTP kali ini Teater Quantum ikut serta tanpa target atau Nothing to lose. Bagi Awan dan teman-temannya, bisa berhasil mementaskan sebuah pertunjukan dan membuat penonton yang menyaksikannya merasa terhibur adalah sesuatu yang luar biasa. “harapan kami Teater Quantum bisa kembali Berjaya seperti beberapa tahun yang lalu” ujar Awan mewakili teman-temannya. (ADS)

Selasa, 19 Maret 2013

The Greatest, Bravest, Coolest Man Ever !! Rizal Nasti


Rizal Nasti



              
          Lahir di Kota Pinang, Sumatera Utara, pada tahun 1958. Pemberontakan tengah gencar di seluruh penjuru Negeri. “Saya lahir di dalem Bungker (lubang dalam tanah), waktu itu demi keamanan, semua wanita dan anak-anak disuruh masuk ke Bungker”, ujar beliau. Rizal Nasti lahir dengan ayah dan ibu yang berprofesi sebagai seorang pedagang. Tidak seperti kebanyakan anak di Kota Pinang, bang Rizal memulai sekolah dengan masuk ke TK (Taman Kanak-kanak) selama 2 tahun, kemudian melanjutkan ke Sekolah Dasar dan lulus pada tahun 1969. Hal tersebut tak lepas dari kedua orangtuanya yang beranggapan bahwa sekolah itu penting. Pada tahun yang sama pula, kedua orangtuanya memutuskan untuk pindah ke jakarta karena alasan ekonomi.
             Di Jakarta, bang Rizal dan kedua orangtuanya tinggal dan menetap di daerah Kali Anyar, Tambora, Jakarta Barat, yang jaraknya relatif dekat dengan lokasi Gelanggang Remaja Jakarta Barat. Rizal Nasti meneruskan Sekolah Menengah Pertama di SMPN 21 Jakarta dan Sekolah Menengah Atas di SMAN 19 Jakarta. Yang menarik, bang Rizal, begitu ia biasa disapa, sudah membudayakan membaca sejak kecil. “Orang laen di Kali Anyar belom pada baca, keluarga saya udah langganan koran”, lanjutnya.
               Beberapa tahun setelah lulus SMA, tepatnya di tahun 1978, bang Rizal mulai mengenal Gelanggang dan INDRAJA (Ikatan Drama Jakarta Barat) yang sudah berumur 4 tahun sejak pertama kali didirikan pada tahun 1974. Sebagai pemain, bang Rizal pernah bergabung dengan banyak grup teater, salah satunya adalah Teater Kwadrat yang di sutradarai Ch. Cheme Ardi. Di Kwadrat, bang Rizal berhasil meraih banyak penghargaan grup dan individu. Di Kwadrat juga, beliau bertemu dengan istrinya yang notabene adalah lawan mainnya di Teater Kwadrat.
          Setelah genap 12 tahun mengenal dan mendalami teater, tepatnya pada tahun 1980, bang Rizal membentuk dan memberanikan diri untuk menyutradarai sebuah grup teater, Study Teater 24. Teater ini mulanya adalah grup teater dari SMEA 24 yang kini telah berubah namanya menjadi SMKN 42. Hingga kini, Study Teater 24 telah meraih banyak penghargaan di berbagai ajang festival teater.
             Suksesnya sebagai sutradara berbanding lurus dengan kesuksesannya memimpin INDRAJA, hampir selama 15 tahun beliau memimpin asosiasi teater di Jakarta Barat ini. Bagaimana tanggapan kalian perihal INDRAJA dewasa ini? Itulah hasil kerja keras bang Rizal dan semua warga INDRAJA yang membuat Ikatan Drama Jakarta Barat kita tercinta menjadi lebih baik, di dalam maupun di luar.